Ini mungkin pengalamanku yang terhebat kala aku menggeluti perempuan. Aku, seorang mahasiswa semester 2 dalam program profesi yang kuambil, ternyata memilki kisah yang demikian aneh. Terus terang sangat aneh bagiku, seorang yang hidup dalam lingkungan agamis harus terlibat dalam perzinahan yang kadang tidak kumengerti apa maksud dari semua ini.
Pengalamanku ini kudapati ketika aku dengan pikiran yang suntuk berjalan-jalan ke Yogya. Dalam perjalanan yang penuh dengan kepenatan akan apa yang kupikirkan, terasa membuatku ingin memukul semua orang yang kutemui. Benar, aku orang yang sangat temperamental. Saat aku berjalan di Malioboro Mall, ketika itulah aku tanpa sengaja berkenalan dengan seorang perempuan, yang pada akhirnya kutahu masih perawan, muda dan cantik, mahasiswi pula. Berkulit putih bersih dengan rambut lurus hitam legam, berukuran tubuh sintal dan mengundang selera.
Perkenalan kami bermula ketika dia bertubrukan denganku di depan stand Dagadu. Waktu itu meskipun tidak terlihat terburu-buru tetapi sorot matanya yang sayu dan terkesan sedih membuatku tidak dapat hanya membantunya membereskan belanjaanya, tetapi entah mengapa aku ingin membuat mata yang bersinar sedih itu berkedip dengan penuh gembira dan suka cita. Kami kemudian berkenalan dan kuajak ia makan sebagai wujud penyesalanku.
Kami pun lalu terlibat pembicaraan yang entah bagaimana terasa betapa akrab dan penuh persahabatan. Hangat. Tertawa yang berderai dari mulutnya yang mungil dan merekah menampilkan giginya yang rapih membuatku merasa paling tidak melupakan masalah yang menderaku. Aku terus terang senang dengan kondisi itu. Aku tidak ingin kehilangan itu semua, mungkin dalam waktu sesingkat itu.
Terus terang meskipun aku bukan seorang buaya, aku tetap tidak ingin kehilangan momen yang menyenangkan seperti itu begitu saja. Maka ketika ia menawari aku untuk mengatarnya ke rumah temannya di daerah Gedong Kuning, hal itu tidak kulewatkan. Tapi maaf, sebenarnya aku juga tidak ingin meninggalkan kesetiaanku kepada pasanganku, sejujurnyalah aku tidak ingin berbuat macam-macam terhadapnya. Aku hanya ingin sejenak lebih lama bersamanya. Itu saja.
Sesampai di Rumah temannya, ternyata rumah tersebut berada dalam kondisi kosong. Sebuah pesan di muka pintu mengatakan temannya pergi sampai 3 hari. Di situ tertulis pula pesan padanya bila ingin menginap di rumah itu tinggal ambil kunci di tempat biasanya. Kami pun kemudian masuk dan beristirahat di sana.
Kami kemudian berbincang dengan lebih mendalam sampai ia akhirnya menceritakan cerita sedih dari bibirnya. Tentang pacarnya yang berselingkuh dan akhirnya diputus olehnya. Kuhayati benar ceritanya. Aku mencoba menghiburnya dengan kata-kata. Tadinya kupikir, kata-kata merupakan senjata yang ampuh untuk menghiburnya. Tapi ternyata kemudian hanya air mata yang menjadi jawaban dari usahaku itu. Aku menjadi salah tingkah dan kemudian kuberanikan diri untuk membelai dirinya sehangat yang kubisa. Bahwa kemudian dia dengan spontan justru menjatuhkan dirinya dalam pelukanku itu yang tidak kusangka.
Kupeluk dia dengan perasaan kebapakan yang kupunya. Kucium lembut rambutnya sambil berusaha meredakan tangisnya. Kami pun kemudian tenggelam dalam pose berpelukan seperti itu di sofa selama beberapa waktu. Waktu sepertinya berjalan dengan lambat ketika akhirnya tangis mereda. Ia bangkit berdiri dan meminta maaf atas sikapnya yang cengeng. Aku pun berdiri dan mengatakan tidak lah masalah, toh setiap orang mungkin membutuhkan orang lain untuk mendengarkan apa yang dia derita. Kami pun kemudian berpelukan, lebih hangat dari yang pertama. Tapi disinilah awal segalanya.
Pelukan itu begitu hangat membuatku merasa seperti berada dalam posisi yang tidak akan tertolak. Aku yang begitu perduli, ternyata menyatakan kepedulian dengan hal yang sebenarnya tidak pantas kulakukan pada orang yang sedang bersedih. Aku mencium dia dengan lembut. Di dahi, antara dua mata, kelopak mata, pipinya. Semuanya kulakukan satu demi satu. Sampai akhirnya aku mencium bibirnya yang lembut. Lama.., tanpa nafsu aneh. Namun aku mendapati ia begitu menghayati ciuman bibir yang kuberikan. Dia kemudian membalas dengan lembut pula. Sesuatu yang tidak begitu kuharapkan. Lembut dan kuat. Hangat. Membuat bulu kudukku meremang. Dan hasrat kelelakianku menggeliat.
Segera kulepaskan pelukannya dan kutatap ia. Ia pun tersipu malu sambil menundukkan wajahnya yang bersemu merah. Aku merasa bersalah padanya. Menjebaknya dalam posisi seperti itu. Biarlah aku yang menanggung kesalahan. Untuk menutupi rasa malunya, segera kurengkuh kembali tubuhnya dan kucium kembali dia dengan lebih kuat. Balasan yang lebih kuat ia berikan. Kami berciuman dengan berdiri, di pinggir sofa. Semakin lama berciuman terasa tubuh semakin hangat terbakar gairah dan kurasakan juga padanya.
Kuberanikan diri untuk menciumi daerah belakang telinganya, menjilati telinganya. Semua itu membuatnya menggelinjang geli. Ia berontak. Dan didorongnya tubuhku menjauhinya, tapi tanganku digamitnya. Ia kemudian mengajakku ke kamar tempat ia biasa menginap. Disanalah kemudian kami melanjutkan ciuman dan rangsangan yang tertunda. Dan aku pun semakin aktif memfungsikan naluriku. Tangan sudah bekerja ke setiap gumpalan di tubuhnya. Dan entah apa lagi yang kuperbuat aku tidak tahu. Aku hanya tahu akhirnya kami seperti bersepakat untuk saling menanggalkan busana kami.
Dengan busana yang sudah tertanggal, justru lebih membuat kami seperti orang gila dalam saling merangsang. Aku ingat ketika tanganku menyentuh sesuatu yang lembut di sela pahanya. Lembut dan basah. Dan aku masih ingat ketika akhirnya ia merebahkan diri di depanku sambil tangannya menggapai diriku. Dan itulah, aku yang sudah kehilangan kendali ini, menghujamkan kelelakianku pada kewanitaannya diiringi jerit lirihnya dan semburat merah yang terciprat pada kelelakianku. Perawan..?
Aku yang tahu bahwa tidak semudah itu perawan menyerahkan miliknya pada orang yang baru dikenalnya tersentak kaget. Tapi demi melihat itu, dia berkata merelakan perawannya diambil orang. Tidak perduli, mungkin kata yang tepat. Aku menjadi tenang dan meneruskan aktifitas kami. Lenguhan dan jeritannya semakin membuatku yakin bahwa ia memang menikmati hal itu. Melenguh, menggoyang, menyodok, sampai kami berdua bersimbah keringat. Semua sikap erotis kuperlakukan untuknya, tanpa sekalipun melepaskan kelelakianku darinya. Dua belas kali aku merasakan denyutan ritmik yang teratur dari keperempuanannya. Dia melepaskan kenikmatan khidmatnya sebanyak dua belas kali, sedangkan aku belum sekali pun.
Aku mencabut kelelakianku dari keperempuanannya karena ia terlihat sangat lelah. Tidak perduli bahwa aku belum merasakan letupan itu. Ini keterlaluan karena sudah lebih dari dua jam. Pasti membuatnya tersiksa. Kutatap ia. Ia tesenyum tapi kuyu. Berdiri pun ia sudah sangat gemetaran, tidak kuat. Kakinya bergetar hebat. Ia kupapah ke kamar mandi ketika ia ingin buang air kecil. Kasihan aku melihatnya. Kemudian, kami pun tidur tanpa mandi.
Malam ketika bangun, aku mengamati tidurnya yang tenang dan terlihat sangat damai. Ada senyum di bibirnya. Membuatku ingin mencium. Kucium lembut dan itu membuatnya terbangun dan mengajakku bergelut lagi. Malam itu, ia merasakan letupan puncak sebanyak sembilan kali dan aku satu kali. Lega rasanya. Dia pun merasa senang karena hal tersebut. Pelukannya terasa penuh kasih sayang takut kehilangan. Berbincang setelah menyalurkan hasrat ternyata lebih membuatnya merasa lebih santai. Indah.
Pengalamanku ini kudapati ketika aku dengan pikiran yang suntuk berjalan-jalan ke Yogya. Dalam perjalanan yang penuh dengan kepenatan akan apa yang kupikirkan, terasa membuatku ingin memukul semua orang yang kutemui. Benar, aku orang yang sangat temperamental. Saat aku berjalan di Malioboro Mall, ketika itulah aku tanpa sengaja berkenalan dengan seorang perempuan, yang pada akhirnya kutahu masih perawan, muda dan cantik, mahasiswi pula. Berkulit putih bersih dengan rambut lurus hitam legam, berukuran tubuh sintal dan mengundang selera.
Perkenalan kami bermula ketika dia bertubrukan denganku di depan stand Dagadu. Waktu itu meskipun tidak terlihat terburu-buru tetapi sorot matanya yang sayu dan terkesan sedih membuatku tidak dapat hanya membantunya membereskan belanjaanya, tetapi entah mengapa aku ingin membuat mata yang bersinar sedih itu berkedip dengan penuh gembira dan suka cita. Kami kemudian berkenalan dan kuajak ia makan sebagai wujud penyesalanku.
Kami pun lalu terlibat pembicaraan yang entah bagaimana terasa betapa akrab dan penuh persahabatan. Hangat. Tertawa yang berderai dari mulutnya yang mungil dan merekah menampilkan giginya yang rapih membuatku merasa paling tidak melupakan masalah yang menderaku. Aku terus terang senang dengan kondisi itu. Aku tidak ingin kehilangan itu semua, mungkin dalam waktu sesingkat itu.
Terus terang meskipun aku bukan seorang buaya, aku tetap tidak ingin kehilangan momen yang menyenangkan seperti itu begitu saja. Maka ketika ia menawari aku untuk mengatarnya ke rumah temannya di daerah Gedong Kuning, hal itu tidak kulewatkan. Tapi maaf, sebenarnya aku juga tidak ingin meninggalkan kesetiaanku kepada pasanganku, sejujurnyalah aku tidak ingin berbuat macam-macam terhadapnya. Aku hanya ingin sejenak lebih lama bersamanya. Itu saja.
Sesampai di Rumah temannya, ternyata rumah tersebut berada dalam kondisi kosong. Sebuah pesan di muka pintu mengatakan temannya pergi sampai 3 hari. Di situ tertulis pula pesan padanya bila ingin menginap di rumah itu tinggal ambil kunci di tempat biasanya. Kami pun kemudian masuk dan beristirahat di sana.
Kami kemudian berbincang dengan lebih mendalam sampai ia akhirnya menceritakan cerita sedih dari bibirnya. Tentang pacarnya yang berselingkuh dan akhirnya diputus olehnya. Kuhayati benar ceritanya. Aku mencoba menghiburnya dengan kata-kata. Tadinya kupikir, kata-kata merupakan senjata yang ampuh untuk menghiburnya. Tapi ternyata kemudian hanya air mata yang menjadi jawaban dari usahaku itu. Aku menjadi salah tingkah dan kemudian kuberanikan diri untuk membelai dirinya sehangat yang kubisa. Bahwa kemudian dia dengan spontan justru menjatuhkan dirinya dalam pelukanku itu yang tidak kusangka.
Kupeluk dia dengan perasaan kebapakan yang kupunya. Kucium lembut rambutnya sambil berusaha meredakan tangisnya. Kami pun kemudian tenggelam dalam pose berpelukan seperti itu di sofa selama beberapa waktu. Waktu sepertinya berjalan dengan lambat ketika akhirnya tangis mereda. Ia bangkit berdiri dan meminta maaf atas sikapnya yang cengeng. Aku pun berdiri dan mengatakan tidak lah masalah, toh setiap orang mungkin membutuhkan orang lain untuk mendengarkan apa yang dia derita. Kami pun kemudian berpelukan, lebih hangat dari yang pertama. Tapi disinilah awal segalanya.
Pelukan itu begitu hangat membuatku merasa seperti berada dalam posisi yang tidak akan tertolak. Aku yang begitu perduli, ternyata menyatakan kepedulian dengan hal yang sebenarnya tidak pantas kulakukan pada orang yang sedang bersedih. Aku mencium dia dengan lembut. Di dahi, antara dua mata, kelopak mata, pipinya. Semuanya kulakukan satu demi satu. Sampai akhirnya aku mencium bibirnya yang lembut. Lama.., tanpa nafsu aneh. Namun aku mendapati ia begitu menghayati ciuman bibir yang kuberikan. Dia kemudian membalas dengan lembut pula. Sesuatu yang tidak begitu kuharapkan. Lembut dan kuat. Hangat. Membuat bulu kudukku meremang. Dan hasrat kelelakianku menggeliat.
Segera kulepaskan pelukannya dan kutatap ia. Ia pun tersipu malu sambil menundukkan wajahnya yang bersemu merah. Aku merasa bersalah padanya. Menjebaknya dalam posisi seperti itu. Biarlah aku yang menanggung kesalahan. Untuk menutupi rasa malunya, segera kurengkuh kembali tubuhnya dan kucium kembali dia dengan lebih kuat. Balasan yang lebih kuat ia berikan. Kami berciuman dengan berdiri, di pinggir sofa. Semakin lama berciuman terasa tubuh semakin hangat terbakar gairah dan kurasakan juga padanya.
Kuberanikan diri untuk menciumi daerah belakang telinganya, menjilati telinganya. Semua itu membuatnya menggelinjang geli. Ia berontak. Dan didorongnya tubuhku menjauhinya, tapi tanganku digamitnya. Ia kemudian mengajakku ke kamar tempat ia biasa menginap. Disanalah kemudian kami melanjutkan ciuman dan rangsangan yang tertunda. Dan aku pun semakin aktif memfungsikan naluriku. Tangan sudah bekerja ke setiap gumpalan di tubuhnya. Dan entah apa lagi yang kuperbuat aku tidak tahu. Aku hanya tahu akhirnya kami seperti bersepakat untuk saling menanggalkan busana kami.
Dengan busana yang sudah tertanggal, justru lebih membuat kami seperti orang gila dalam saling merangsang. Aku ingat ketika tanganku menyentuh sesuatu yang lembut di sela pahanya. Lembut dan basah. Dan aku masih ingat ketika akhirnya ia merebahkan diri di depanku sambil tangannya menggapai diriku. Dan itulah, aku yang sudah kehilangan kendali ini, menghujamkan kelelakianku pada kewanitaannya diiringi jerit lirihnya dan semburat merah yang terciprat pada kelelakianku. Perawan..?
Aku yang tahu bahwa tidak semudah itu perawan menyerahkan miliknya pada orang yang baru dikenalnya tersentak kaget. Tapi demi melihat itu, dia berkata merelakan perawannya diambil orang. Tidak perduli, mungkin kata yang tepat. Aku menjadi tenang dan meneruskan aktifitas kami. Lenguhan dan jeritannya semakin membuatku yakin bahwa ia memang menikmati hal itu. Melenguh, menggoyang, menyodok, sampai kami berdua bersimbah keringat. Semua sikap erotis kuperlakukan untuknya, tanpa sekalipun melepaskan kelelakianku darinya. Dua belas kali aku merasakan denyutan ritmik yang teratur dari keperempuanannya. Dia melepaskan kenikmatan khidmatnya sebanyak dua belas kali, sedangkan aku belum sekali pun.
Aku mencabut kelelakianku dari keperempuanannya karena ia terlihat sangat lelah. Tidak perduli bahwa aku belum merasakan letupan itu. Ini keterlaluan karena sudah lebih dari dua jam. Pasti membuatnya tersiksa. Kutatap ia. Ia tesenyum tapi kuyu. Berdiri pun ia sudah sangat gemetaran, tidak kuat. Kakinya bergetar hebat. Ia kupapah ke kamar mandi ketika ia ingin buang air kecil. Kasihan aku melihatnya. Kemudian, kami pun tidur tanpa mandi.
Malam ketika bangun, aku mengamati tidurnya yang tenang dan terlihat sangat damai. Ada senyum di bibirnya. Membuatku ingin mencium. Kucium lembut dan itu membuatnya terbangun dan mengajakku bergelut lagi. Malam itu, ia merasakan letupan puncak sebanyak sembilan kali dan aku satu kali. Lega rasanya. Dia pun merasa senang karena hal tersebut. Pelukannya terasa penuh kasih sayang takut kehilangan. Berbincang setelah menyalurkan hasrat ternyata lebih membuatnya merasa lebih santai. Indah.
Tapi akhirnya aku harus pergi, kenangan yang cukup menyita ruang memoriku harus tersimpan rapih sebagai kenangan. Tentang dia. Semua data tubuhnya. Rasa itu. Reaksinya yang malu. Kemerahan di pipinya. Keringat yang membasahi tubuh masih kuingat. Dan harum tubuhnya tidak akan kulupa. Berani sumpah, ini adalah kisah nyataku yang hidup di bumi Indonesia. Perempuan ini pun benar-benar hidup, tapi aku menghargainya dan menghormatinya karena betul-betul rela memberikan keperawanannya pada orang yang baru dikenalnya.
TAMAT
TAMAT
No comments:
Post a Comment