Saturday, November 12, 2011

Kisah Nyata Pemerkosaanku



Seumur hidupku tak pernah aku bermimpi akan masuk televisi apalagi tampil layaknya bintang sinetron dalam serial filem laga. Tapi itu benarlah yang terjadi secara tak disangka-sangka.

Siang itu sesudah paginya pulang dari melaut aku makan nasi-pecel di warung lain dari yang biasa ditongkrongi oleh aku dan teman-teman nelayan yang dekat dengan aku. Warung yang biasa kami tongkrongi dikenal enak kopinya, begitupun banyak penganan pada pagi hari seperti pisang goreng, serikaya dsb-nya. Sedang warung ini terkenal dengan nasi pecel-nya yang enak pada siang hari. Sebab itu sekali-sekali aku datang kesini.

Aku sedang menikmati makan siang yang kupesan saat kudengar perbincangan bernada marah pada sopir angkot. Yang satu marah mereka sering lewat dengan kecepatan tinggi melintasi kampung kami. Sepertinya mengejar setoran, kata mereka. Yang satu katanya anaknya kemarin hampir saja terlanggar sewaktu main sepakbola. Yang lain mengatakan sopirnya tidak mau berhenti kalau di-stop, padahal angkotnya belum penuh. Yang lain katanya mereka minta bayaran tinggi untuk muatan ikan. Ada lagi yang mengatakan jemuran ikannya di pinggir jalan digilas angkot. Yang lain menyebut-nyebut cekcok antara sopir angkot 
dengan tukang parkir di kota. Aku memang merasakan kegeraman para pembicara yang sebagian besar bukanlah orang yang mencari makan di laut seperti aku dan tidak kukenal dekat.

“Saya akan menghajar sopirnya habis-habisan kalau sampai ada yang dapat kecelakaan di kampung kita ini. Benar-benar akan saja hajar”, kata seseorang. Kukenal laki-laki bertubuh tegap kokoh itu dulu pernah cekcok dengan juraganku entah apa pasalnya. Saya tak tahu apa pekerjaannya sekarang. Kudengar dia bekas tentara. Lalu pembicaraan beralih pada maling yang dibakar massa yang ditayangkan televisi kemarinnya. Kedengaran banyak yang mengatakan perbuatan itu pantas sebagai pelajaran bagi yang lain. Si tegap kokoh menyebut kata “sok terapi” yang aku tak tahu benar maksudnya. Polisi tak bisa diharap, katanya, masuk depan keluar belakang.

Aku baru saja membayar makan siangku dan siap meninggalkan warung itu ketika terjadi ribut-ribut di jalan. Orang-orang di warung pada berlarian ke sana. Dari jarak sepuluh meter aku melihat seorang anak umur lima tahun tergeletak di pinggir jalan. Kudengar teriakan-teriakan dan jerit tangis. Aku juga berlari mendekat.

“Cepat telpon ambulans!”
“Bawa langsung ke rumahsakit, dia luka parah!” kudengar suara lain. Kulihat sebuah mobil plat merah dihentikan, dan seorang membopong anak yang luka itu masuk dan setelah itu jip itu dilarikan dengan kecepatan tinggi.

“Ampun Bang, ampun, dia melintas tiba-tiba sekali Bang. Dia cuman tersenggol pak, tidak tergilas angkot saya, saya akan bayar pengobatannya bang … ampun pak …ampun bang … “, kudengar sopir angkot itu minta-minta ampun sementara pukulan demi pukulan dan tendangan demi tendangan menghujani wajah dan tubuhnya.

“Bakar”, kudengar si tegap kokoh yang tadi bicara keras di warung. “Ambil bensin, kita bakar dia disini juga.” Bulu tengkukku merinding. Apa warga kampungku ini akan sampai hati melakukan perbuatan keji itu?

Sopir itu masih juga digebuki. “Saya bayar pengobatannya bang, saya bayar pengobatannya .... ”, teriaknya sambil berlari kesana kemari dan terus dikejar banyak orang yang pada keluar ke jalan. Tangannya mengacu-acukan segumpal uang ke orang-orang yang menyerangnya, dan karena satu pukulan dia terhuyung dan gumpalan uang itupun terlepas dari tangannya yang terus dikejari anak-anak. Sementara pukulan dan sepakan ke arah si sopir angkot terus juga tak henti-hentinya.

“Bakar, bakar dia”, kudengar lagi teriakan. Aku terkejut melihat seorang membuka tutup tangki bensin angkot yang terhenti di tengah jalan. Lalu kulihat dia menanggalkan singletnya. Rupanya dia hendak mencemplungkan singlet itu ke tangki bensin. Warga kampungku ini kelihatannya memang hendak membunuh orang. Mereka lihat ini di televisi. Massa membakar maling. Dan sekarang mereka mau melakukannya pada sopir angkot. Si sopir yang melihat ini berteriak histeris. “Jangan Bang!! Jangan Pak!! Kasihanilah anak-anak saya! Saya punya anak-anak kecil Pak, jangan bunuh saya …..”

“Kemari Bang!!!” jeritku. “Disini!!!”. Sopir itu dengan wajah berdarah-darah menengok dan berlari ke arahku. Kusambar tangannya dan kutarik ke dinding kantor kepala kampung di tepi jalan. Orang pertama yang datang mengejar aku sambut dengan pukulan sekuat tenaga ke rahangnya sehingga terdengar berderak. Seorang lagi menerjang, kupukul lagi dengan telak.
Tiga lagi datang mengeroyok aku dan di belakang mereka masih banyak, kupukul semua yang mendekat. Tangan kiriku yang baru disemen terasa ngilu, rupanya patah lagi. Dan betapa takutnya aku ketika kulihat orang yang mencelupkan singletnya ke tangki oplet mendekat dan berteriak “siapkan geretan!”. Ditangannya singlet yang basah oleh bensin.

Dalam takut kuberikan perlawanan habis-habisan dan aku gembira sopir yang bertubuh cukup kekar itu sekarang juga melawan. Kami bertempur habis-habisan mempertahankan nyawa. Tiba-tiba kurasakan singlet yang dibasahi bensin dilibaskan ke baju, wajah dan rambutku. “Mau sok jadi pahlawan kau ya, tukang sampan?”, kudengar suara geram orang yang tadi kupukul rahangnya. “Ikut jadi arang kau …. ”. Lalu seorang lain mengambilalih singlet itu dan melibaskannya ke si sopir angkot. “Mati kau!”, kudengar lagi suara lain bernada bengis. Lalu mataku terbelalak melihat ranting kayu menyala. “Ya Tuhan, sampai disinilah rupanya nyawaku”, keluhku dalam hati, namun aku terus mengamuk seperti macan luka, begitupun si sopir angkot berkelahi habis-habisan dalam keadaan basah kuyup oleh bensin.

Aku tak tahu benar apa yang terjadi waktu itu. Kudengar suara tembakan menggelegar dan orang yang membawa ranting berapi tiba-tiba roboh ambruk bersama ranting menyalanya. Dan aku hampir tak percaya melihat siapa yang menembak …… Lala! Dia berlari ke arah aku terkurung dengan wajah garang. Dan di belakangnya berlari Gunawan. Satu lagi dentuman menggelegar dan orang yang tadi membasahi aku dengan bensin melolong terjungkal. Serangan hebat ini membuat para pengeroyok kami terperanjat, lalu cepat berbalik menghadapi Lala hendak meringkusnya, tetapi kulihat Gunawan si Cina itu menyerang dengan buas siapa saja yang mendekat ke Lala dengan gerakan seorang jago karate tangguh. Aku tidak memperhatikan mereka lagi.

Tinjuku segera kubagi-bagikan ke siapa saja yang mendekat. Begitupun si sopir angkot jadi mendidih semangatnya. Satu tembakan keras lagi terdengar, dan lelaki kekar yang tadi di warung, memegang dadanya tak jauh dari aku. Dan Lala kini berada diantara kami memegang pistolnya dengan kedua tangan mengacungkan berkeliling. Semua pengeroyok mundur menghindari laras pistol dan Gunawan datang bergabung. Dan tak lama kulihat juraganku sudah di sana diikuti teman-teman perahuku. “Kami tak tahu engkau yang dikeroyok Din”, katanya. Tapi aku tak menjawab dia.
“Terimakasih Lala”, bisikku pada perempuan itu yang masih mengacungkan pistol mengancam di sampingku, siapa saja yang dia todong mundur menjauh. Duhhh perempuan ini…. Sudah kucelakakan dia, tapi ternyata dialah yang telah menyelamatkan nyawaku.

Kemudian kudengar raungan sirene mobil polisi. Dan tak lama tempat itu sudah penuh polisi. Juga mobil-mobil ambulans berdatangan.

“Siapa yang menembak?” kudengar suara komandan polisi.
“Saya yang menembak,” jawab Lala menyerahkan pistolnya.
“Anda punya lisensi pemilikan senjata?”
“Punya.”
“Siapa nama anda?”
“Lala Puraatmaja”. Komandan polisi itu terdiam sejenak.
“Anda tadi yang menelpon kami?”
“Ya”.
“Anda putri wakil Gubernur?”
“Ya”.
“Kami harus menahan anda untuk diproses.” Lala diam dan tak lama dia memberikan tangannya untuk diborgol.

Aku gembira ketiga orang yang ditembak Lala tidak meninggal, padahal ditembak langsung oleh dia. Karena betapapun mereka warga kampungku juga. Aku menginap di rumahsakit yang sama di ruang yang berbeda karena tangan kiriku patah lagi.

Dan di rumahsakit aku mengetahui hal yang mencengangkan. Seorang pasien lain berteriak memberitahu: aku jadi berita di televisi. Segera aku bergegas ke televisi, dan tercengang. Benar-benar tercengang. Kulihat sopir angkot yang berdarah-darah dikejar kesana-kemari, kulihat diriku yang berteriak memanggil dia dan menariknya ke dinding agar lebih mudah mempertahankan diri, lalu kulihat diriku dan sopir angkot dikeroyok banyak orang, lalu kulihat orang yang melibaskan singlet dibasahi bensin ke baju, wajah dan rambutku lalu melibaskan singlet itu ke pakaian si sopir angkot. Lalu kulihat orang yang membawa ranting menyala ……….. lalu Lala yang berlari dengan pistol di tangan diikuti Gunawan yang meloncat keluar dari mobilnya. Lalu tembakan beruntun tiga kali dan orang-orang yang roboh. Duhhhh …… garangnya perempuan itu ….. Tak ragu-ragu dia menembak …… Tapi darimana semua rekaman ini??

Baru kemudiannya aku tahu bahwa ada turis asing yang taxinya terhambat karena kejar-kejaran di jalan, mengabadikan kejadian tersebut mulai dari awal sampai akhir. Dan rekaman itu diputar berulang-ulang oleh televisi daerah. Ada kalanya hanya cuplikan, tetapi pada lain kali secara keseluruhan. Agaknya karena kejadian itu melibatkan putri seorang pejabat penting.
Sore hari saat jam berkunjung, perawat mengatakan ada rombongan yang menjengukku dan aku boleh menemui mereka di lobbi rumahsakit. Aku masih menduga-duga siapa yang datang ketika kulihat Lala. Wajahnya cerah tetapi tidak terlalu gembira. Dan bersamanya Gunawan, Hendra dan Lili, dan juga ibunya Lala, adik-adik dan orangtuaku. Juga kulihat sopir angkot dan keluarganya. Wajah si sopir kulihat memar, bengkak dan luka di sana-sini. Dia datang memelukku.

“Kang, kamu melihat gayamu beraksi jadi bintang laga di televisi?”, Lili bertanya renyah dan yang lain tertawa terbahak. Adik-adikku bersorak. Aku tak menjawab, kupandang orang yang sekarang kurasakan sebagai sahabat dekatku itu, si sopir angkot, kuingat kembali ketakutan itu, saat kami berada antara hidup dan mati. Kupandang wajah Lala, aku tahu dia tahu aku menyampaikan sekali lagi terimakasih yang tak terkatakan.

Berkat rekaman kamera si turis asing, Lala dibebaskan dari dakwaan membunuh dengan darah dingin mentang-mentang anak pejabat seperti tuduhan beberapa pihak. Dan walau mula-mula menolak, aku akhirnya mandah saja diproklamasikan gubernur sebagai warga teladan pada hari kemerdekaan. Ini tentu saja disertai hadiah uang. Organisasi besar para sopir angkot dan bus juga menyelenggarakan resepsi khusus untukku, memberi piagam dan hadiah uang. Aku begitu terharu ketika semua hadirin bertepuk tangan panjang sambil berdiri dari kursi untukku pada kedua acara resepsi itu. Dan semua juga diabadikan televisi sehingga namaku semakin berkibar. Kemana-mana anak-anak kecil mengikutiku sepertinya aku ini penyanyi kondang atau bintang filem sinetron.

Penampilanku kalau tidak melaut juga berubah. Tidak lagi mengenakan kaus oblong yang robek-robek dan celana kolor tanpa sepatu. Gayaku di pantai lebih sering seperti peselancar di filem Baywatch dengan celana gombrang Hawai berbunga-bunga dan oblong tanpa lengan dari bahan kuat, dengan sepatu Reebok atau Nike. Kalau keluar bersama Lala dan Gunawan atau naik mobil Hendra bersama Lili yang sekarang juga menjadi sahabatku, aku mengenakan pakaian dengan gaya mode yang selaras dengan mereka karena mereka yang memilihkan pakaian itu untukku di toko pakaian ber-merek walau aku berkeras membayar dengan uangku sendiri. Tapi dalam kehidupan sehari-hari aku kembali ke pekerjaanku sebagai awak perahu nelayan yang melaut hampir setiap malam.

Satu sore ketika kami hendak melaut, Lala datang ke pantai menemuiku. “Kang apakah kamu bisa minta izin tidak ikut melaut? Ada yang hendak kumintai tolong”. Walau penuh heran kuminta izin pada juraganku untuk tidak ikut melaut malam itu, dan juraganku mengizinkan. Lalu kuikuti Lala ke mobilnya.

Aku bertanya-tanya dalam hati apa gerangan keperluan Lala dengan aku? Tetapi sepanjang perjalanan Lala diam. Kulihat dia mengarahkan mobil ke kota. Disana dia membawa aku ke restoran bagus dan bersih nian. Di restoranpun kami tidak berbicara banyak, dia hanya menanyakan aku mau makan apa dan mau minum apa. Akupun tidak ingin mengganggunya dengan pertanyaan, tetapi tampaknya ada masalah pelik dalam pikirannya.

Dari restoran Lala mengarahkan mobil kembali ke kampungku dan terus ke villa-nya. Mobil itu langsung ke halaman belakang dan berhenti di pinggir pantai. Hari sudah senja. Kuikuti dia ke pantai yang dikenal orang kampung sebagai bagian dari villa milik bapaknya Lala, yang membuat mereka segan datang kesitu. Pantai itu yang dirawat dengan telaten dikitari beberapa pohon kelapa gading, belukar perdu yang dipangkas rapi dan bunga-bunga nusa indah. Ada bangunan gazebo beratap, memayungi dua kursi duduk santai beralas busa yang bisa digelar menjadi pembaringan.

Lala berbaring di satu kursi busa yang dia selonjorkan dan aku duduk di kursi yang satu lagi menghadap ke dia.
“Apa yang mengganggu pikiranmu Lala?” tanyaku.

“Kang”, katanya setelah diam sejenak, “waktu kejadian sopir angkot itu, aku dan Gunawan sudah berada di sana, persis di tempat kejadian sejak awal dia dikejar-kejar. Di mobil Gunawan.” Dia diam lagi. Aku bertanya-tanya dalam hati apa gerangan maksudnya mengatakan ini? Bukankah itu sudah diketahui luas? Bukankah semuanya terekam oleh kamera? Gunawan yang mengendarai mobil dengan Lala disampingnya terhenti dari arah berlawanan sewaktu kecelakaan anak kecil terlanggar itu terjadi.

“Kami tidak berani menolong, Kang, karena banyaknya orang yang mengeroyok, kami takut ..… kami hanya menelpon polisi yang ternyata lama betul datangnya”, dia diam lagi sejenak. Aku benar-benar tak bisa meraba kemana arah pembicaraannya.

“Lalu kami melihat kamu Kang, kekonyolanmu melibatkan diri …. Kami memang menganggapnya sebagai kekonyolan, mencampuri urusan orang yang bukan urusanmu padahal bahayanya besar sekali ..….. lalu kami melihat singlet dicemplungkan dan ditarik dari tangki angkot …. kami ngeri dan juga takut sekali akan keselamatan diri kami sendiri kang …. “, kudengar Lala terisak.
“Lalu kulihat singlet bensin itu dipukulkan orang ke badanmu dan kulihat ranting menyala itu Kang ……..”. Lala sekarang menangis. “Kang, engkau tahu mengapa aku menyerbu? ….. Mengapa aku kesetanan? ….. ” Aku menatap wajahnya benar-benar tak mengerti.
“Anakmu menangis tersedu-sedu Kang. Dia menangis ketakutan bapaknya hendak dibakar orang hidup-hidup …. Dia bertanya sesunggukan padaku mengapa tidak ada orang yang menolong, “ dan Lala menumpahkan tangisnya.

Aku hampir tak percaya apa yang kudengar. Terbayang kembali betapa Lala berlari kesetanan dengan wajah buas dan menembak dengan garang.

“Anakku? Maksudmu …….. “, tak sadar aku bangkit dari dudukku berjongkok merangkul perempuan itu. “Lala, engkau mengandung anakku? ….. ” Lala mengangguk di dadaku. Ohh bahagianya aku. Kurangkul dia lebih erat dengan mesra, penuh kasih sayang dan cinta.

Tiba-tiba aku melepaskan dia dari rangkulanku dan melihat ke wajahnya dengan sangat khawatir. “ …… Apa .. apa yang akan kamu lakukan dengan dia Lala? Akan kamu gugurkan?”
“Kalau hendak digugurkan tentu sudah sejak awal itu kulakukan”, katanya menyusut airmata. “Lalu bagaimana Lala?”, tanyaku.
“Aku mau mempersuami Bapak-nya”, katanya dan seiring dengan itu dia memberikan mulutnya yang segera kulumat dengan mesra.
“Kang, anakmu kangen sama Bapaknya, itu sebab kamu aku ajak kemari”. Ahh Lala, engkau tidak tahu betapa rindunya aku padamu, betapa cintaku semakin berkobar padamu sejak engkau menolong aku, menyelamatkan aku dari maut, kataku dalam hati.

Dan rejeki nikmat itu kudapatkan lagi. Kutanggalkan pakaian Lala satu persatu, dan dia juga menanggalkan pakaianku. Setelah kusosor dadanya yang bulat penuh, leher dan ketiaknya, dia bangun mendorong aku kembali duduk di kursi. Lalu dia jongkok di depanku. Dipegangnya penisku dan dia kocok-kocok dengan tangannya sampai penis itu tegang melawan. Lalu mukanya merunduk ke selangkanganku, menjilat kepala penisku dengan lidahnya lalu mengulum bonggol itu dengan menjepit diantara kedua bibirnya.

“Enak Kang?” tanyanya memandang ke wajahku sewaktu bibirnya terlepas sejenak dari kepala yang berlumar air ludah itu.
“Nikmat bukan main Lala”, jawabku. Dan aku mendesis sewaktu dia kembali mengulum bonggol itu seperti layaknya mengulum permen lollipop.
“Bonggolmu besar Kang”, bisiknya. “…. dan enak!”
“Kapan-kapan kita ke Pulau Umang lagi ya Kang?”, katanya lagi. Aku hampir tak mampu menjawab karena dia menyedot kepala penisku itu yang nikmatnya bukan kepalang. Kubelai rambutnya dengan mesra.
“Dan aku ingin kita melakukannya lagi di pasir dalam hujan seperti tiga bulan lalu itu Lala”, kataku.
“Waktu aku di atas?”

“Ya, waktu kamu memperkosa aku”, kataku dan kami berdua tergelak. Dimasukkannya kembali penisku ke mulutnya, kali ini lebih dalam, lalu dia tarik sampai ke leher bonggolku, lalu bonggolku itu disedotnya lagi. Ditelannya lagi batang penisku lebih dalam, lalu dia tarik lagi mulutnya sampai ke leher bonggol, dia hisap lagi bongggolku, dia masukkan lagi ke mulutnya lebih dalam lalu dia tarik lagi sampai ke leher dan dia hisap kepala penisku itu. Jadinya seperti aku menyetubuhi mulutnya. Aku jadi khawatir akan muncrat dan tak berdaya lagi. Sebab itu kutarik dia bangun dari jongkokan dan kudorong ke kursi busa yang sudah dilonjorkan menjadi pembaringan. Kuambil posisi di antara pahanya dengan wajahku menghadapi selangkangan.

Cahaya senja temaram menyebabkan aku tidak bisa melihat kelentit itu dengan jelas, tetapi aku tahu dimana dia berada. Kusentuh dia dengan ujung lidahku. Lala menggelinjang. Pahanya menjepit kepalaku. Kubuka paha itu, kuletakkan di bahu dan kakinya bertengger di punggungku. Kujilat lagi kelentit itu dengan lidahku dan berlanjut menjilat celah belahan liang senggamanya. Lala merintih dan mengerang. Lalu dengan gemas kulumat bibir senggamanya itu yang kiri dan yang kanan. Lalu kujilat ceruk telaga nikmatnya itu. Kuhirup dan kureguk air birahi yang tergenang disana. Lezat. Lala merengek mencengkeram rambutku.

“Sudah kang aku tidak tahan lagi”, sengal Lala menghiba. Dan aku merangkak ke atas.

Dan tak lama kamipun sudah bergumul dalam persetubuhan panas. Birahi Lala terasa berapi-api. Birahi perempuan yang sedang hamil tiga bulan. Penisku seperti dihisap-hisap tak henti-hentinya sehingga aku sempat kalah di ronde pertama, muncrat sebelum Lala puas. Dan dia menertawakan aku. “Akang kalah”, ejeknya cekikikan. “Apakah anak kita nanti tidak terganggu, Lala?” bisikku. “Ah, dia malah senang kok disiram Bapaknya,” Lala menjawab tertawa. Tapi aku tetap hati-hati. Istirahat sebentar, babak kedua kusuruh Lala di atas, seperti posisi kami di pantai saat aku luka parah. Tentu saja tanganku tidak dia tepiskan lagi sewaktu merangkul dan meremas panggul dan pahanya yang sekal. Benar-benar persetubuhan nikmat. Kali ini aku mengendalikan diri dan berhasil membuat Lala orgasme sebelum aku muncrat lagi. Lalu kami mengulanginya lagi untuk ketiga kalinya, kali ini di kamar tidur Lala di villa yang sering kosong itu.

Kami menikah, yang membuat kecewa banyak orang: Hendra yang sebenarnya tetap mengharapkan Lala menjadi isterinya, dan Gunawan yang mencintai Lala sejak lama. Juga kecewa seorang reporter televisi yang pernah mewawancara dan kemudian menjadi pacarku sebentar, dan sejumlah gadis cantik warga kampungku yang berharap aku jadikan isteri dengan menyapa manja dan melempar banyak senyum. Padahal sebelumnya tak pernah mereka punya perhatian padaku. Di pesta perkawinan, juraganku berseloroh mengatakan aku mirip pejabat dengan stelan jas lengkap dengan dasi. Bahkan kupergoki Lili memandang ke arahku diam-diam dengan tatapan kagum. Dia tersipu-sipu kupergoki. “Kamu ganteng sekali Kang”, katanya akhirnya berterus-terang. “Mirip Denzel Washington.”
“Siapa itu?” tanyaku.
“Aktor Hollywood peraih Oscar” katanya tertawa. Baru aku tahu kemudian setelah kutanya Lala bahwa Denzel Washington itu bintang film kulithitam Amerika yang katanya guanteng sekali.

Dan dalam perkawinan bahagia itu, enam bulan kemudian kami dianugerahi seorang putri yang cantik, mirip Lala. Ayah Lala membeli Pulau Umang, dan aku dicarikan kerja oleh Lala dan bapaknya di sebuah kapal penangkap ikan samudera. Tak lama aku menjadi awak. Setelah aku menguasai pengetahuan mengenai segala sesuatunya di kapal penangkap ikan, ayah Lala membeli kapal penangkap ikan itu dan aku si menantu diangkat menjadi nakhodanya.



Aku berharap suatu hari dapat mengumpulkan modal untuk meminjam dana di bank untuk membeli kapal sendiri karena betapapun aku tidak ingin terus terusan berada di bawah sayap mertua. Tetapi terjadilah peristiwa pilu itu. Lala kelihatannya sedang berbaring santai tanpa selembar benangpun melemaskan tubuh di pantai belakang villanya di kursi santai di bangunan gazebo sewaktu tsunami itu datang, saat aku sedang menyiapkan kapalku untuk melaut. Banyak korban termasuk ayah ibu dan adik-adikku. Akulah yang menemukan jenazah Lala. Anak kami selamat karena berada di rumah neneknya.

Nasib manusia silih berganti, terkadang di atas terkadang di bawah. Namun aku percaya saat-saat cerah masih menanti, karena aku semakin dekat dengan Lili yang sayang sekali pada anakku yang ditinggal pergi ibunya. Kami sering pergi ke pulau Umang berduaan. Siapa tahu pada suatu hari Lili akan mau menjadi isteriku menggantikan almarhum kakak-nya, walau aku menghadapi dua saingan berat: Hendra dan Gunawan

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...